MAKASSAR, CREATIVENEWS – Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Selatan (Sulsel) melambat bahkan di bawah rata-rata nasional.
Hal ini terungkap pada kegiatan bincang media yang digelar oleh Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sulawesi Selatan, yang berlangsung di Cafe The Backyard, Jalan Tanjung Bunga, Makassar, Selasa (26/8/2025).
Kegiatan ini membahas perkembangan ekonomi daerah serta respon kebijakan moneter terbaru.
Hadir dalam kegiatan tersebut Kepala BI Sulsel Rizki Ernadi Wimanda, Deputi BI Sulsel Wahyu Purnama, dan Deputi Perwakilan BI Sulsel Riki Satria.
Kepala BI Sulsel, Rizki Ernadi Wimanda, menjelaskan bahwa ketidakpastian ekonomi global masih tinggi. Hal ini terjadi karena melemahnya pertumbuhan di Amerika Serikat, India, Jepang, dan Tiongkok. Ekonomi Eropa juga mengalami tren perlambatan.Di sisi lain, perekonomian ASEAN masih mampu tumbuh positif.
Pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini diperkirakan turun dari 3,3 persen menjadi 3 persen. Dari kondisi tersebut mendorong ekspektasi penurunan suku bunga di Amerika Serikat serta berdampak pada pergerakan modal global.
Sementara secara nasional, ekonomi Indonesia tercatat tumbuh 5,12 persen pada triwulan II 2025, meningkat dari capaian sebelumnya 4,7 persen. Pertumbuhan ini ditopang oleh sektor pertambangan, industri pengolahan, dan pertanian.
Pertumbuhan tertinggi terjadi di Sulawesi sebesar 5,83 persen year on year, disusul Jawa sebesar 5,24 persen. Namun khusus Sulawesi Selatan, pertumbuhan tercatat 4,94 persen atau sedikit di bawah rata-rata nasional.
Rizki menjelaskan, perlambatan di Sulsel utamanya dipengaruhi kontraksi sektor pertanian sebesar 6,27 persen akibat panen raya lebih awal.
Sementara di sektor perdagangan, industri pengolahan, dan pertambangan menunjukkan pertumbuhan positif terhadap ekonomi daerah.
Lebih lanjut, tingkat inflasi nasional hingga Agustus 2025 tercatat 2,37 persen. Kenaikan harga beras, tomat, bawang merah, cabai rawit, serta biaya pendidikan menjadi faktor utama pendorong inflasi.
Sementara itu, nilai tukar rupiah per 19 Agustus 2025 menguat 1,29 persen dibanding posisi akhir Juli. Cadangan devisa Indonesia masih tinggi, yakni sebesar 152 miliar dolar AS, setara 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri.
Rizki menegaskan, BI tetap menjaga stabilitas dengan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 5 persen.
“Kebijakan ini diharapkan mampu menjaga momentum pertumbuhan sekaligus mendukung stabilitas ekonomi nasional maupun daerah,” ungkapnya.