BARRU, CREATIVENEWS — Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas ganda dengan inisial ANS di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, menuai sorotan publik setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Barru hanya menuntut terdakwa AB (71) dengan hukuman tiga tahun penjara.
Keputusan tersebut dikecam luas oleh masyarakat dan organisasi disabilitas karena dinilai tidak mencerminkan keadilan, khususnya bagi kelompok rentan.
Dewan Pengurus Daerah Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (DPD PPDI) Sulawesi Selatan menyatakan bahwa tuntutan tersebut mencerminkan rendahnya komitmen institusi kejaksaan dalam melindungi hak-hak penyandang disabilitas, terutama yang menjadi korban kekerasan seksual.
“Dalam merumuskan tuntutan, JPU sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi korban yang merupakan perempuan dengan disabilitas fisik dan intelektual. Korban memiliki tingkat kematangan mental setara anak-anak,” ujar Ketua DPD PPDI Sulsel, Faluphy Mahmud, dalam siaran persnya, Minggu (18/5).
Faluphy menjelaskan bahwa berdasarkan hasil asesmen psikiater, korban yang berusia 19 tahun memiliki empat lapis kerentanan: sebagai perempuan, penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas intelektual, dan tingkat kematangan mental yang setara anak-anak.
Tuntutan JPU juga sempat dipertanyakan langsung oleh Ketua Majelis Hakim Imelda SH saat persidangan. Dalam interupsinya, hakim mempertanyakan dasar tuntutan yang dianggap janggal.
“Apakah Anda yakin, Pak Jaksa, atas tuntutan tiga tahun ini? Ini perkara luar biasa. Ini soal kekerasan seksual terhadap anak yang bahkan mengalami disabilitas ganda,” ujar hakim Imelda dengan nada tegas.
Faluphy menegaskan bahwa JPU seharusnya merujuk pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), di mana ancaman hukuman maksimal terhadap pelaku kekerasan seksual adalah 15 tahun. Bahkan, Pasal 14 UU TPKS menegaskan bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas harus dikenai pemberatan hukuman sepertiga dari ancaman maksimal.
“Tuntutan tiga tahun ini jelas mengabaikan ketentuan UU dan rasa keadilan publik. Ini bukan hanya keputusan personal JPU, tapi keputusan institusional karena melalui mekanisme berjenjang di internal kejaksaan,” ujarnya.
PPDI Sulsel pun secara tegas mendesak Jaksa Agung Republik Indonesia untuk segera mencopot Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Barru karena diduga melanggar ketentuan normatif dan mengabaikan perlindungan terhadap kelompok rentan.
“Negara wajib memastikan keadilan bagi korban disabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 42 hingga 47 UU TPKS. Kami mendesak Kejaksaan Agung untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran ini,” tutup Faluphy.
Sidang lanjutan dengan agenda pembacaan putusan oleh Majelis Hakim dijadwalkan dalam pada Selasa 20 Mei 2025. (*)